Friday, September 5, 2008

Karakter anak berkembang secara sirkuler

Beberapa aspek dari karakter anak berkembang secara sirkuler - yang positif semakin positif dan yang negatif semakin negatif. Salah satu contoh dari proses perkembangan karakter yang membentuk siklus negatif adalah sebagai berikut:
Seorang anak yang pemalu akan cenderung untuk menyendiri, teman-temannya pun tidak akan mendekatinya, dan karenanya skill anak dalam hal sosialisasi tidak berkembang. Karena anak tidak bisa bersosialisasi, maka ia akan semakin menarik diri dari orang lain dan sifat pemalunya semakin akut. Demikian seterusnya, siklus negatif semakin menjadi. Sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Katz, anak-anak tidak mungkin bisa dengan sendirinya memutuskan siklus negatif tersebut, disinilah dibutuhkan bantuan dan kreatifitas dari orang tua dan guru..bagaimana menciptakan suasana dimana anak mendapatkan kesempatan untuk bangkit dari sifat pemalunya tanpa harus memaksa atau membuat ia stres melakukan sesuatu yang tidak ia sukai. Mungkin orang tua ada yang mau membagikan pengalamannya....

1 comment:

Ardis said...

Menjadi “populer” tentunya bukan hal yang paling penting atau yang paling kita harapkan dari anak-anak kita, bukan? Sebagai orangtua, kita semua pasti megharapkan anak-anak kita mampu bergaul baik dengan orang lain, bisa akur dengan teman-teman sebayanya, serta punya beberapa sahabat setia.
Namun ketika anak usia prasekolah kita sehari-harinya lebih sering terlihat sendiri, bermain sendiri, bahkan saat ia berada dalam suatu kelompok bersama teman-teman sebayanya, hanya “menonton” teman-temannya bermain tanpa “mau” ikut bergabung bersama, tidak menunjukkan ketertarikannya untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan di dalam kelas, segan memandang lawan bicaranya, cenderung berbicara dengan nada suara rendah, selalu menjadi “yang terakhir” dalam suatu antrian atau giliran, bila ditanya hanya menjawab sepatah kata "ya" atau "tidak", dan sebagainya, kekhawatiran pasti akan timbul dalam hati kita sebagai orangtua.
Apakah menjadi seseorang yang menyenangkan dan mampu mempertahankan pertemanan merupakan bakat yang dibawa anak sejak lahir, ataukah merupakan suatu keterampilan yang harus dipelajari atau dibiasakan oleh seorang anak sejak dini? Dan apakah perilaku pemalu (shyness) merupakan suatu sifat bawaan atau karakter yang dibawa anak sejak lahir, ataukah merupakan hasil belajar atau respon terhadap suatu kondisi tertentu. Menurut para ahli, semuanya adalah benar.
Pada dasarnya pemalu bukanlah hal yang menjadi masalah ataupun dipermasalahkan, dan sudah pasti bukan merupakan abnormalitas. Tetapi masalah justru bisa muncul akibat perilaku pemalu ini, jika perilaku ini menyebabkan potensi anak menjadi terkubur dan anak tidak mampu berkembang secara optimal sesuai dengan potensinya. Dampak lain yaitu si anak menjadi kurang kreatif karena tak memiliki percaya diri untuk menunjukkan potensi dirinya. Keadaan ini tentu akan merugikan bagi perkembangan jiwa dan kemampuan anak di masa depannya kelak.
Selain itu lingkungan juga berperan penting terhadap perilaku pemalu ini. Anak akan semakin pemalu ataukah justru dapat mengatasi sifat pemalunya, tergantung dari apakah lingkungannya terus-terusan melindungi anak pemalu atau mendorongnya untuk mampu menghadapi dunia luar sehingga anak menjadi lebih percaya diri. Jika anak dibiarkan mengatasi rasa malunya seorang diri, yang timbul sampai dia beranjak dewasa adalah anak akan menjadi pribadi penyendiri, bahkan rendah diri.
Mendorong seorang anak pemalu untuk berani menghadapi dunia luar tidak bisa dilakukan secara drastis. Mendorong anak (encourage) tidak sama dengan memaksa (push). Usaha yang tiba-tiba bukanlah mendorong, tetapi memaksa. Perasaan terpaksa akan membuat keadaan bertambah buruk, karena anak ditempatkan pada keadaaan yang melebihi batas toleransi atau kemampuannya, sehingga anak bisa jadi malah semakin menarik diri.
Apapun usaha yang dilakukan, sebaiknya orangtua atau guru tetap mendampingi dan tidak langsung melepaskan anak seorang diri. Anak bisa dibiarkan melakukan seorang diri, jika dilihat rasa percaya dirinya sudah berkembang. Mengembangkan dan meningkatkan keterampilan sosial anak, sama pentingnya dengan mengembangkan dan meningkatkan keterampilan fisik dan akademik pada anak. Pastikan bahwa anak yang pemalu menerima perhatian dan dorongan secara pribadi. Tentunya hal tersebut bukan hal yang sulit untuk dilakukan.

Berikut ini beberapa saran yang dapat dilakukan orangtua dan guru untuk meningkatkan rasa percaya diri pada anak, sehingga sifat pemalu pada anak lambat laun menjadi hilang :
• Beri anak berbagai macam kesempatan untuk bertemu dan bergaul dengan teman-teman sebayanya. Daftarkan anak ke prasekolah atau kelompok bermain, ajak anak berkunjung ke rumah saudara atau kerabat yang mempunyai anak sebaya, bermain ke taman dekat rumah, dan sebagainya. Dengan seringnya anak menghabiskan waktu dalam lingkungan sosialnya, akan memancing kreatifitas anak dan juga kemampuan komunikasi verbalnya.
• Jangan bicarakan secara terus terang apalagi meledek perilaku pemalu anak. Sebaiknya tidak mengolok-olok sifat pemalu anak ataupun membahas sifat pemalunya pada orang lain di depan anak tersebut. Anak akan merasa tidak diterima sebagaimana dia adanya. Anak yang pemalu jika di “buka” seperti itu justru akan semakin merasa rendah diri.
• Sediakan lebih banyak waktu untuk melakukan role-playing bersama anak seolah kita adalah temannya. Banyak yang bisa dipelajari dari anak tentang bagaimana perilaku anak ketika sedang bermain, sehingga dapat diketahui kesukaan dan potensi anak, tanggapi semua ide yang diajukan anak, hindari mengkritik anak ketika permainan sedang berlangsung, dan jangan terlalu mengarahkan apa yang harus dilakukan anak ketika sedang bermain. Role-playing dapat dilakukan pada berbagai situasi, misalnya berpura-pura di sekolah, berpura-pura di toko, dan sebagainya.
• Mengobrollah dengan anak mengenai teman-temannya. Ajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka, dimana dibutuhkan jawaban yang lebih luas daripada sekedar “ya” atau “tidak”, mengenai apa yang telah terjadi di “sekolah”, misalnya “Hari ini kamu main dengan siapa saja?”, “Bagaimana perasaanmu ketika bermain dengan dia?”, “mengapa kamu suka bermain dengannya?”, “Kira-kira, apa yang mau kamu lakukan jika nanti kalian bermain bersama lagi?”, dan sebagainya. Anak mungkin hanya dapat menjawab dengan jawaban yang singkat. Tetapi setiap ungkapan keberhasilan akan membangun rasa diterima dan aman.
• Lakukan percakapan yang mengarah kepada suatu problem-solving. Ingat, jadikan ini sebagai “percakapan”, bukan sebagai “kuliah” bagi anak. Walaupun tujuan kita adalah agar anak “belajar” dari apa yang kita bicarakan, tapi anak juga perlu didengarkan pendapatnya, beri tanggapan atas semua pendapat yang diungkapkan anak, beri pujian atas keberanian anak dalam mengemukakan pendapat, kemudian sama-sama dicari strategi untuk dilakukan atau keputusan yang akan disepakati bersama.
• Usahakan untuk tidak terlalu ikut campur dalam situasi bermain anak. Kecuali anak berada dalam keadaan akan terluka atau situasi permainan yang kita tahu sangat jauh dari kesanggupan anak, biarkan anak melakukan tantangan sosialnya dengan caranya sendiri.
• Yakinkan pada anak, bahwa kita (orangtua atau guru) selalu ada dan siap untuk membantunya. Ungkapkan pada anak kata-kata yang dapat membantu anak merasa tenang dan mengurangi rasa tertekan atau terpaksanya untuk bergabung bersama anak lain. Misalnya, “Nak, kalau kamu merasa belum siap untuk bermain bersama mereka, kamu boleh kok cuma melihat saja apa yang sedang mereka mainkan. Kalau kamu mau sambil mengerjakan sesuatu juga boleh. Mau sambil menggambar atau menyusun Lego, misalnya. Tapi, kalau kira-kira nanti kamu merasa sudah siap untuk bermain bersama mereka, dan kamu mau “ibu” bantu, kamu beritahu saja pada “ibu”, ya. Atau, kalau nanti setelah kamu bermain bersama mereka kamu merasa tidak suka, kamu juga boleh beritahu “ibu” lagi.”
• Hindari memaksa anak untuk mau berpartisipasi dalam suatu kelompok yang besar. Bisa-bisa anak akan merasa tertekan atau malah akan semakin menghindari kelompok tersebut. Ciptakan suasana dimana anak yang pemalu mempunyai kesempatan untuk berhasil mengekspresikan diri mereka sendiri secara pribadi, dimulai dalam kelompok yang kecil. Anak pemalu biasanya akan merasa lebih bebas untuk berpartisipasi dalam kelompok yang kecil. Setelah anak berhasil mendapatkan pengalaman, merasa nyaman dan percaya diri berada di kelompok yang lebih kecil, maka anak akan merasa lebih mudah untuk turut bergabung di kelompok yang lebih besar. Dengan mengatakan “Kalau nanti kamu merasa sudah siap” berarti kita sudah membangun kepercayaan dalam diri anak, bahwa ia bisa datang kepada kita dan kita pasti akan membantunya kapanpun ia merasa siap untuk bergabung dalam suatu kelompok tertentu.
• Latih anak untuk bisa mengungkapkan keinginan atau perasaannya. Misalnya, “Ibu, tolong aku, aku mau main masak-masakan dengan A dan B. Aku pasti akan merasa senang kalau bisa main masak-masakan dengan A dan B”, atau “Ibu, aku lebih suka yang warna kuning. Bisa tolong diganti dengan yang warna kuning saja?”, dan sebagainya.
• Pasangkan anak yang pemalu dengan seorang teman yang berperilaku tenang, percaya diri, dan mempunyai kontrol diri yang baik. Jangan pasangkan anak pemalu dengan teman yang lincah, periang, dan populer, karena anak akan semakin merasa “tenggelam”. Beri mereka berdua “tanggung jawab” untuk melakukan suatu tugas sederhana bersama-sama, misalnya mengantarkan amplop berisi pesan ke kantor kepala sekolah (dengan didampingi assistant teacher tentunya), memilih dan mengambil sebuah buku tertentu sesuai dengan instruksi dari orangtua atau guru, dan sebagainya. Beri pujian pada anak yang pemalu tersebut juga kepada teman yang mendampinginya tadi atas keberhasilan dan kerjasama mereka dalam menyelesaikan “tugas” yang diberikan dengan baik.
• Berterima kasihlah kepada teman-teman lainnya. Ungkapkan secara tulus kepada teman-teman lainnya, dengan kalimat yang menyatakan keadaan yang sebenarnya, tanpa dilebih-lebihkan, bahwa kita sangat menghargai usaha mereka yang telah mau menerima, mendampingi, dan membantu si anak pemalu tersebut, sehingga akhirnya ia merasa nyaman untuk bergabung dan bermain bersama mereka. Sebaiknya gunakan sebutan “teman yang tadinya belum pernah ikut bermain bersama kita” untuk menyebut si anak pemalu tersebut, hindari menggunakan sebutan “teman yang pemalu”, atau “anak pemalu”. Jangan lupa untuk meyakinkan anak-anak lain yang telah membantu itu, bahwa kita juga akan siap membantu mereka kapanpun mereka butuh bantuan kita. Cara ini dapat membantu anak-anak itu mengembangkan sikap tulus terhadap sesama, yang berarti bahwa setiap orang akan membantu orang lain yang membutuhkan hanya karena mereka memang harus dibantu, bukan karena ingin mendapatkan balasan, hadiah, atau pujian.

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang membacanya (adiz)