Tuesday, October 21, 2008

Prinsip Pendidikan Waldorf


Tanggal 17 & 18 Oktober, Saya kembali mengikuti international conference, kali ini, mengenai sistem pendidikan Waldorf, yang sudah cukup berkembang di negara barat. Di Asia, baru terdapat beberapa sekolah yang menganut prinsip pendidikan Waldorf. Pembicaranya founder dari Waldorf school di New Zealand – Pak Hans dan Ibu Ineke Mulder.

Beberapa konsep Waldorf sama dengan yang sudah kita terapkan di Saraswati, seperti:
  • fokus pendidikan pada ’the whole child’, bukan hanya akademis saja tetapi juga membekali anak dengan life skills seperti problem solving, initiative, empathy, critical thinking, dll.
  • tidak memaksakan sesuatu pada anak, artinya, mengajar dengan sistem yang fleksibel melalui gerakan, games, story telling dan cara-cara yang kongkrit. Misalnya, belajar tambah kurang dengan benda-benda praktis.
  • Tidak ada hukuman bagi si anak. Jika anak berbuat sesuatu yang kurang tepat, tidak langsung ditegur. Seringkali di kelas, saat group activity time, ada saja anak-anak yang tidak memperhatikan dan justru mengganggu konsentrasi teman-temannya dengan kesibukannya sendiri. Dalam hal ini, lazimnya, kita akan menegur si anak dan memintanya untuk menghentikan kesibukannya dan ikut berpartisipasi dalam group activity. Tidak demikian di sekolah Waldorf. Si guru di sekolah Waldorf akan membuat sebuah cerita yang kiranya dapat menyampaikan pesan mengenai perbuatan yang kurang tepat tersebut. Secara tidak langsung, anak akan tertegur. Teguran secara tidak langsung seperti ini tidak akan menyakiti perasaan anak tetapi cukup efektif agar si anak sadar bahwa perbuatannya kurang tepat. Di Saraswati kami sering melakukan hal yang sama, seperti saat seorang anak membawa pulang mainan dari sekolah tanpa memberitahu guru..guru tidak langsung menegurnya tetapi saat circle time keesokan harinya, story telling yang dibuat oleh guru temanya disesuaikan, agar si anak tertegur secara halus.

  • Ritme atau skedul kegiatan tidak bersifat kaku – pukul 10 harus makan, pukul 10.30 harus main matematika. Sebagaimana di Saraswati, komentar dan interest anak-anak menjadi masukan bagi guru untuk membuat adjustment pada skedul ataupun tema yang sudah direncanakan.

Ciri khas dari Waldorf School – Siapkah orang tua?

  • Suasana di Waldorf School bersifat sangat ’open-ended’, artinya anak-anak benar-benar dibiarkan untuk melatih imajinasi dan kreatifitasnya melalui alat-alat yang tidak berbentuk. Jadi di Sekolah Waldorf, di kelas tidak akan ditemukan sebuah telpon riil. Telpon dibuat sendiri oleh anak-anak dan bisa berwujud kaleng bekas dengan seutas tali. Adanya benda yang bentuknya terdefinisi dengan jelas dihindari. Bahkan saat menggambar atau melukis sekalipun, guru tidak pernah memberikan garis pembatas.
  • Keterikatan anak dengan alam juga dilatih, artinya anak-anak banyak bermain di alam.
  • Tidak ada latihan menulis atau berhitung yang dipaksakan pada anak.




Saat berkunjung ke Saraswati, Pak Hans dan ibu Ineke Mulder sangat kagum dan senang sekali dengan suasana di Saraswati. Menurut mereka, anak-anak sangat happy di Saraswati. Ibu Ineke sempat bercerita pada anak-anak mengenai mengapa kerbau membantu orang membajak sawah. Ceritanya cukup menarik dan seperti biasanya, anak-anak kita tidak segan melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang kritis.
Feli berkomentar: “Kan binatang tidak bisa ngomong?!“ (dalam cerita kerbau berbicara dengan manusia)
Ineke: “Yes, but this is a special buffalo“
Popo/Nanda : “Kenapa spesial?”
Ineke : “ Because it’s the messenger to the people”………
Setelah bercerita dan bernyanyi bersama, Pak Hans dan Ibu Ineke ikut makan pagi dan kemudian foto bersama.

1 comment:

Kezia said...

wah... kayaknya sekolah dengan sistem waldorf enak ya. saya mau nanya, apa ada smp atau sma dengan sistem waldorf? atau waldorf hanya untuk anak tk? soalnya, saya merasa bosan dengan sistem sekolah saat ini. terlalu kaku dan otoriter. kalau sekolahnya menggunakan sistem waldorf, kan enak. pasti akan lebih efektif bagi semua anak.