Monday, October 27, 2008

Let's mail a letter!

Untuk mengisi waktu liburan lebaran yang sangat panjang, Saraswati mengajak orang tua untuk membuat post office box bersama dengan anak di rumah. Saat masuk sekolah, selama 1 minggu pertama, anak-anak dengan bangga membawa hasil karyanya. Dramatic play area kemudian di set up untuk menjadi kantor pos oleh teachers. Wah, apa saja ya benda-benda yang dapat ditemukan di kantor pos? Ada perangko, ada uang, ada lem, amplop, pen. Ada timbangan juga lho, dan alat stamping.

Berikut salah satu skenario dramatic play di Saraswati Post Office:
Nanda memilih menjadi pegawai kantor pos yang menerima dan menimbang surat dan paket.
Popo memilih menjadi penjual benda-benda pos seperti perangko, amplop dll. Ia juga memegang alat stamping.
Teman-teman yang lain sibuk ‘menulis surat’ buat teman masing-masing. Keisya ingin menulis surat buat Achie, Fendi buat Gede, Olla buat Vira, dan Dinda buat Kak Helen. Feli ingin mengirim paket Dino.

Gede : ‘Bungkus dulu, Feli.’
Feli : ’Mana kertasnya?’ Teacher menunjukkan pada Feli kertas yang dapat dipakai untuk membungkus, dan Feli langsung membungkusnya. Setelah selesai, ia datang ke Nanda.
Nanda menimbang paket dino, dan berkata, ‘1 kilo harganya Rp.5.000. Beli dulu perangkonya di Popo.’
Feli ke Popo : ‘Aku mau perangko.’
Popo memberikan perangko dan bertanya: ’Uangnya mana?’
Feli : ’Ngga ada.’
Popo : ’ngga boleh.’ Ia mengambil kembali paketnya. ’Bikin dulu uangnya.’
Feli mengambil potongan kertas yang sudah disediakan dan menulis, ’5000’. Ia lalu bergegas kembali ke Nanda. Tetapi Nanda sudah ingin istirahat.
Nanda : ’Aku mau pergi.’
Popo mengambil alih tugas Nanda. Ia terima paket Feli dan melakukan stamping..buk, buk, buk...siap deh untuk dikirim!

Tuesday, October 21, 2008

Prinsip Pendidikan Waldorf


Tanggal 17 & 18 Oktober, Saya kembali mengikuti international conference, kali ini, mengenai sistem pendidikan Waldorf, yang sudah cukup berkembang di negara barat. Di Asia, baru terdapat beberapa sekolah yang menganut prinsip pendidikan Waldorf. Pembicaranya founder dari Waldorf school di New Zealand – Pak Hans dan Ibu Ineke Mulder.

Beberapa konsep Waldorf sama dengan yang sudah kita terapkan di Saraswati, seperti:
  • fokus pendidikan pada ’the whole child’, bukan hanya akademis saja tetapi juga membekali anak dengan life skills seperti problem solving, initiative, empathy, critical thinking, dll.
  • tidak memaksakan sesuatu pada anak, artinya, mengajar dengan sistem yang fleksibel melalui gerakan, games, story telling dan cara-cara yang kongkrit. Misalnya, belajar tambah kurang dengan benda-benda praktis.
  • Tidak ada hukuman bagi si anak. Jika anak berbuat sesuatu yang kurang tepat, tidak langsung ditegur. Seringkali di kelas, saat group activity time, ada saja anak-anak yang tidak memperhatikan dan justru mengganggu konsentrasi teman-temannya dengan kesibukannya sendiri. Dalam hal ini, lazimnya, kita akan menegur si anak dan memintanya untuk menghentikan kesibukannya dan ikut berpartisipasi dalam group activity. Tidak demikian di sekolah Waldorf. Si guru di sekolah Waldorf akan membuat sebuah cerita yang kiranya dapat menyampaikan pesan mengenai perbuatan yang kurang tepat tersebut. Secara tidak langsung, anak akan tertegur. Teguran secara tidak langsung seperti ini tidak akan menyakiti perasaan anak tetapi cukup efektif agar si anak sadar bahwa perbuatannya kurang tepat. Di Saraswati kami sering melakukan hal yang sama, seperti saat seorang anak membawa pulang mainan dari sekolah tanpa memberitahu guru..guru tidak langsung menegurnya tetapi saat circle time keesokan harinya, story telling yang dibuat oleh guru temanya disesuaikan, agar si anak tertegur secara halus.

  • Ritme atau skedul kegiatan tidak bersifat kaku – pukul 10 harus makan, pukul 10.30 harus main matematika. Sebagaimana di Saraswati, komentar dan interest anak-anak menjadi masukan bagi guru untuk membuat adjustment pada skedul ataupun tema yang sudah direncanakan.

Ciri khas dari Waldorf School – Siapkah orang tua?

  • Suasana di Waldorf School bersifat sangat ’open-ended’, artinya anak-anak benar-benar dibiarkan untuk melatih imajinasi dan kreatifitasnya melalui alat-alat yang tidak berbentuk. Jadi di Sekolah Waldorf, di kelas tidak akan ditemukan sebuah telpon riil. Telpon dibuat sendiri oleh anak-anak dan bisa berwujud kaleng bekas dengan seutas tali. Adanya benda yang bentuknya terdefinisi dengan jelas dihindari. Bahkan saat menggambar atau melukis sekalipun, guru tidak pernah memberikan garis pembatas.
  • Keterikatan anak dengan alam juga dilatih, artinya anak-anak banyak bermain di alam.
  • Tidak ada latihan menulis atau berhitung yang dipaksakan pada anak.




Saat berkunjung ke Saraswati, Pak Hans dan ibu Ineke Mulder sangat kagum dan senang sekali dengan suasana di Saraswati. Menurut mereka, anak-anak sangat happy di Saraswati. Ibu Ineke sempat bercerita pada anak-anak mengenai mengapa kerbau membantu orang membajak sawah. Ceritanya cukup menarik dan seperti biasanya, anak-anak kita tidak segan melemparkan pertanyaan-pertanyaan yang kritis.
Feli berkomentar: “Kan binatang tidak bisa ngomong?!“ (dalam cerita kerbau berbicara dengan manusia)
Ineke: “Yes, but this is a special buffalo“
Popo/Nanda : “Kenapa spesial?”
Ineke : “ Because it’s the messenger to the people”………
Setelah bercerita dan bernyanyi bersama, Pak Hans dan Ibu Ineke ikut makan pagi dan kemudian foto bersama.