Banyak Obat Bisa Tak Tepat
Kamis, 31 Januari 2013 | 08:24 WIB
Oleh : Brigitta Isworo Laksmi
Terserang batuk? Terserang pilek? Jika kita ke dokter bisa-bisa pulang
membawa sekantong penuh obat. Obat untuk bermacam gejala mulai dari
pilek, batuk, pusing, atau sakit kepala serta berbagai keluhan gangguan
kesehatan lain. Dua hari kemudian, kita merasa segar lagi, merasa diri
sembuh. Benarkah demikian?
Penelitian Yayasan Orangtua Peduli menemukan, pada praktiknya, banyak
dokter justru mendorong penggunaan obat tidak rasional (irrational use
of drugs/IRUD), bukannya mendorong praktik penggunaan obat secara
rasional (rational use of medicine/RUM).
Dokter anak Wiyarni Pambudi dalam Seminar Smart Parents, Healthy
Children, Happy Family di sekolah untuk Prasekolah Saraswati, Sabtu
(26/1), mengatakan, ”Banyak resep yang ’gawat’.”
Resep-resep gawat tersebut tulisannya demikian sulit dibaca sehingga
rawan salah baca. Jumlah obatnya banyak pula. Wiyarni mengingatkan,
semua obat memiliki efek samping.
Ada beberapa jenis keluhan gangguan kesehatan yang bersifat self
limiting. Artinya, gangguan kesehatan itu bisa sembuh hanya dengan daya
tahan tubuh sendiri. ”Batuk, pilek, diare, dan luka ringan bersifat self
limiting. Perlu waktu satu minggu hingga dua minggu untuk sembuh,” ujar
Wiyarni.
Obat berfungsi ”topeng”
Pada praktiknya, banyak ditemukan bahwa obat yang diberikan sebagian di
antaranya bukan berfungsi menyembuhkan penyakit, melainkan hanya
berfungsi sebagai ”topeng”. Pasien terlihat sehat, padahal sebenarnya
obat hanya ”menutupi” kondisi sebenarnya.
Misalnya, diberi steroid yang berfungsi sebagai doping. Karena minum
steroid, pasien terlihat segar, padahal sebenarnya ia masih sakit. Hasil
senada didapatkan jika pasien meminum antihistamin.
”Obat antialergi diberikan untuk pasien dengan keluhan batuk. Efek
antihistamin adalah mengantuk. Alhasil, anak tampak tenang, tidak
rewel.... Itu dikira sudah membaik, padahal belum,” tutur Wiyarni.
Sementara itu, bagi anak-anak, sakit batuk-pilek merupakan gangguan
kesehatan paling sering. ”Sakit anak-anak sebenarnya merupakan mekanisme
alamiah untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh mereka,” ungkapnya.
Sistem kekebalan tubuh bayi saat dalam rahim masih ikut sang ibu. Selain
gangguan kesehatan, sistem kekebalan tubuh juga terbangun melalui
pemberian air susu ibu (ASI). Menurut Nia Umar dari Asosiasi Ibu
Menyusui Indonesia (AIMI), sistem kekebalan tubuh anak yang mendapat ASI
akan lebih baik dibandingkan dengan anak yang tidak mendapat ASI.
Pendorong RUM
Definisi penggunaan obat secara rasional (RUM), menurut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1975, mencakup unsur-unsur: pasien
mendapatkan pengobatan sesuai kebutuhan klinis, dosis obat yang
diberikan sesuai kebutuhan setiap individu selama periode waktu yang
tepat, dan harga murah.
Menurut Wiyarni, agar semua syarat tersebut terpenuhi, dokter harus
memenuhi kewajibannya mengedukasi pasien. Pasien harus paham soal
diagnosis (soal kondisi pasien saat itu), prognosis (kemungkinan yang
bakal terjadi terkait penyakit pasien), serta menjelaskan soal terapi
yang dilakukan.
Di sisi lain, pasien seharusnya mengetahui juga hak-haknya. Hak-hak
terkait konsultasi dengan dokter, di antaranya hak mendapat informasi
jelas mengenai indikasi penyakitnya, informasi terkait efek samping
obat, informasi terkait cara kerja obat, dan hak untuk meminta obat
generik yang murah.
Wiyarni yang menjabat Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Tarumanegara tersebut menegaskan, ”Pasien harus
proaktif, mencari informasi untuk pencegahan salah obat. Yang punya
bayi, misalnya, sebaiknya punya buku data obat.”
Yang pasti, RUM bertujuan untuk melindungi pasien dari pemberian obat
berlebihan, kesalahan pengobatan, atau rendahnya upaya mengobati. ”Pada
intinya, obat adalah racun,” ungkap Wiyarni. Banyak obat, belum tentu tepat.
http://health.kompas.com/read/2013/01/31/08243641/Banyak.Obat.Bisa.Tak.Tepat
No comments:
Post a Comment